SELAMAT DATANG DI SUARA RAKYAT WONG KARANGTENGAH YANG BERISI KUMPULAN ASPIRASI,KRITIK DAN SARAN, SEMOGA BERMANFAAT

Jembatan Gantung Karangtengah

Rencananya Jembatan gantung ini akan segera dibangun jembatan permanen.

Mbanyumas Asli

Bangga dadi wong Banyumas

I Love Banyumas

Banyumas Kampung Halamanku

Wangon City

Wangon City is The Best

Letak Wangon City

Karangtengah merupakan daerah yang terletak di Kecamatan Wangon

Rabu, 26 Oktober 2016

Potensi Pemuda Untuk Desa

PEMUDA merupakan generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader keluarga. Pemuda selalu diidentikan dengan perubahan betapa tidak, peran pemuda dalam membangun bangsa ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan, peran pemuda yang menolak kekuasaan.

Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh semangat perjuangan. 

Satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa merupakan sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Begitu kompaknya pemuda Indonesia pada waktu itu, dan apakah semangat pemuda sekarang sudah mulai redup, seolah dalam kacamata negara dan masyarakat seolah-olah atau kesannya pemuda sekarang malu untuk mewarisi semangat nasionalisime. Hal tersebut di pengaruhi oleh Globalisasi yang penuh dengan tren. 

Bung Hatta & Syahrir seandainya mereka masih hidup pasti mereka menangis melihat semangat nasionalisme pemuda Indonesia sekarang yang selalu mementingkan kesenangan dan selalu mementikan diri sendiri.
Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini. 

Peranan pemuda dalam sosialisasi bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu biasanya setiap ada kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar. Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan, selalu bermain-main dan bahkan ketua RT/RW nya saja dia tidak tahu. 

Kini pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara. 

Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak. 

jadi intinya peran pemuda sekarang ini sungguh sangat memprihatinkan, banyak pemuda sekarang yang jarang bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar padahal dari pemuda lah timbul semangat-semangat yang dapat membuat sebuah bangsa menjadi besar. Berkurangnya rasa sosialisasi di masyakat juga tidak lepas dari kecanggihan teknologi sekarang yang semuanya serba instant, mudah dan cepat tanpa harus bersusah payah. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataannya masih ada pemuda-pemuda yang mengikuti kegiatan-kegiatan masyarakat seperti menjadi panitia-panitia dalam keagamaan, sosial, perayaan dan semacamnya. 

Peran pemuda dalam masyarakat dapat ditingkatkan dengan mengadakan acara-acara atau kumpul untuk para pemudanya agar lebih bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar. Semoga cita-cita dan perjuangan para pahlawan dahulu untuk memerdekakan bangsa ini dapat terwujud dengan pemudanya yang turut berperan aktif dalam masyarakat.
 
Sumber: pemdessukosono, diolah redaksi

Jumat, 14 Oktober 2016

Suara Rakyat Desa untuk Para Penguasa

Sudah beberapa waktu berlalu sejak dicanangkannya dana desa hingga kini realisasi dari program ini ternyata masih belum bisa dinikmati oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat di wilayah pedesaan. Program dana desa yang diharapkan bisa menjadi penggerak kehidupan ekonomi masyarakat desa masih belum jelas nasibnya tentang kapan ia akan terealisasi.
Saya memperhatikan bahwa apa yang saya lihat di desa saya beberapa tahun lalu hingga saat ini bisa dibilang tidak terlalu banyak berubah. Khususnya dalam hal kehidupan ekonomi masyarakatnya. Mata pencaharian masyarakat juga masih berkisar pada pekerjaan-pekerjaan berat seperti buruh bangunan. Selain itu, mata pencaharian sebagai petani juga masih mendominasi sebagaimana periode terdahulu. Dari sekian banyak profesi dan sumber pencaharian, penghasilan yang diperoleh masyarakat desa tidak bisa dibiang besar. Justru jumlah yang diperoleh pas-pasan dan seringkali kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akibatnya budaya hutang kiri kanan masih sering terjadi dan terus “lestari” hingga saat ini.

Pertanyaannya, tidak adakah upaya pemerintah untuk mengubah kondisi ini? Karena saya yakin sepenuhnya bahwa banyak desa-desa lain yang mengalami situasi serupa atau bahkan lebih buruk. Hajat hidup masyarakat belum bisa secara optimal terpenuhi karena masyarakat desa masih hidup dalam banyak keterbatasan, entah itu informasi, bantuan pemerintah, ataupun bentuk-bentuk dukungan yang lain. Kami orang-orang yang tinggal di desa merasa bahwa hanya “diperhatikan” ketika memasuki masa-masa pemilihan umum baik pusat maupun daerah. Di luar itu kami hanyalah seonggok manusia yang tidak pernah diberikan perhatian barang sedikitipun. Kami masyarakat desa merindukan perhatian yang tulus dan bukan sekedar janji manis belaka. Apabila memang para wakil rakyat kami yang berada di gedung-gedung mewah tersebut memiliki semangat tulus untuk memperjuangkan nasib kami, maka kami menunggu dan sepenuhnya menunggu perbaikan taraf hidup kami. Jika memang dana desa itu ada, maka jangan berbelit-belit untuk segera merealisasikannya. Jangan mengeluarkan ribuan dalih untuk membenarkan ketidakmampuan para pejabat berwenang untuk merealisasikan hal ini. Alasan takut terjerat kasus korupsi lah, alasan birokrasi lah, dan mungkin masih ada daftar alasan lain yang sudah disipakan sebagai dalih ketidakmampuan.

Apabila memang hati para wakil rakyat kita tulus, hati para pemimpin kita bersih, maka tidak ada alasan apapun untuk menyegerakan diri bertindak demi kemakmuran rakyat. Kalau untuk memperjuangkan dana tunjangan kesejahteraan dan gedung baru saja mudah, mengapa untuk memberikan daya dukung dalam penyegeraan pencairan dana desa saja begitu sulitnya? Kalau memang ingin berbakti kepada rakyat jangan setengah hati.

Pemimpin kita di masa kini begitu mewah dalam berpenampilan. Tunjangan yang mereka dapatkan begitu mewah. Gaji yang mereka peroleh juga besar. Dari mana mereka mendapatkan semua “keenakan” itu? Dari pendidikannya yang tinggi? Dari kecerdasannya? Dari kelihaiannya berdimplomasi? Tidak! Mereka semua mendapatkan “keenakan” itu semata karena masyarakat memberikan amanah kepadanya. Itu saja. Pemberi amanah terbesar kepada para elit tersebut adalah kami orang desa yang lebih banyak dibohongi dan diberikan janji-janji palsu. Kami hanya diperhatikan ketika mereka butuh untuk mendapatkan kepercayaan kami. Namun ketika mereka sudah mendapatkan apa yang mereka perlukan maka kami dengan begitu mudahnya dilupakan. Kami diacuhkan. Kepentingan kami diabaikan begitu saja. Sungguh sangat keterlaluan.

Kalau boleh jujur, saya bahkan tidak tahu rencana apa yang dimiliki oleh pemerintah dalam memperbaiki taraf hidup masyarakatnya. Khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan. Mereka terlalu sibuk dengan urusan-urusan lain yang jauh dengan kami para orang desa. Jika beberapa waktu lalu Bapak Presiden Joko Widodo menyempatkan diri mengunjungi suku pedalaman, saya ingin bilang bahwa kami tidak butuh dikunjungi. Kami butuh diperbaiki taraf hidup kami. Segera. Kami muak dengan alasan-alasan yang mengemuka tanpa kejelasan. Kami butuh tindakan nyata. Slogan kerja, kerja, kerja saya kira hanya pepesan kosong belaka. Buktinya mana? Mungkin para pemimpin kita bisa menyajikan data-data statistik untuk menunjukkan prestasinya. Tapi saya sama sekali meragukan hal itu. Karena melihat sendiri kondisi desa kami yang jauh dari berdikari. Desa kami hidup tidak jauh berbeda ketika era mendiang Presiden Soeharto berkuasa, malah sebagian banyak yang mengatakan kalau zaman Pak Harto lebih baik. Kalau sudah begini siapa yang salah? Rakyat yang salah karena memilih pemimpin dan wakil-wakil seperti sekarang? Atau memang mereka yang dipilih tidak punya kompetensi untuk menunaikan amanah rakyatnya? Yang salah itu pemerintah pusatnya atau pemerintah daerahnya yang tidak bisa menjembatani kebijakan yang diberikan? Kami memiliki ratusan pertanyaan yang harus dijawab. Kami butuh bukti nyata dari pekerjaan yang dilakukan oleh para pemimpin. Setiap bulan para elit di atas sana menerima gaji dan tunjangan yang begitu wah, sedangkan kami orang desa setiap hari harus berfikir keras besok akan makan apa. Andaikan para pemimpin kita laksana Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang bahkan rela hidup dalam kesederhanaan asalkan masyarakat yang dipimpinnya hidup sejahtera. Sayangnya, kita masih belum menemukan pemimpin seperti itu saat ini.

Saya tidak tahu apakah pemimpin kita itu sebenarnya punya mata untuk melihat kondisi rakyatnya, punya telinga untuk mendengar keluh kesah kami, atau punya hati untuk merasakan kesusahan kami. Apakah pemimpin kami adalah batu yang berwujud manusia sehingga apa yang kami sampaikan tidak bermakna samasekali bagi mereka? Permintaan kami sederhana, sejahterakan kami. Kami ingin hidup dalam kedamaian dan kecukupan. Kami ingin bisa menikmati makanan tiga kali sehari. Kami ingin generasi muda kami menikmati pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Kami orang desa adalah baris terdepan dalam kedaulatan bangsa dan dalam keberlangsungan hidup suatu bangsa. Jika kami orang desa hidup sejahtera, maka kita sebagai bangsa akan dipandang bangsa lain sebagai satu keluarga besar negara Indonesia yang hebat. Indonesia hebat yang sesungguhnya. Bukan Indonesia hebat yang sekedar menjadi jargon semata.

Apakah kami orang-orang desa harus mengulang berkali-kali apa yang kami inginkan. Kami yakin para wakil kami, pemimpin kami, mengetahui benar apa yang menjadi keinginan kami. Hanya saja kami ragu apakah pengetahuan mereka tersebut memunculkan kepedulian dari lubuk hati mereka agar tergerak untuk segera memperjuangkan nasib kami. Kami tidak bisa setiap hari mengkritik dan mengingatkan para wakil rakyat dan juga pemimpin kami. Karena kami tahu sepenuhnya bahwa mereka adalah manusia-manusia yang bermartabat. Mereka adalah manusia-manusia yang berpendidikan dengan segenap ilmu yang seharusnya bisa dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat yang memberikan amanah kepadanya. Kapankah kami bisa hidup lebih sejahtera?

 
Sumber : Agil S Habib, diolah redaksi KRT


Rabu, 05 Oktober 2016

Pilkades Menurut Permendagri No. 112

Kepala Desa atau sebutan lainnya adalah pejabat pemerintahan desa yang mempunyai wewenang tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya dan melaksanakan tugas dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 

Pemilihan Kepala Desa dengan regulasi terbaru merujuk pada UU. Desa No. 6 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 112 tentang Pemilihan Kepala Desa dan Peraturan Daerah masing-masing Kabupaten, memiliki keunikan dan berbeda jauh dengan pelaksanaan Pilkades sebelumnya. 
Paling tidak ada 5 hal yang baru dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa : 

Pertama, Dari segi waktu, Pilkades dilaksanakan serentak satu kali atau dapat bergelombang (Permendagri 112 Pasal 2). Secara bertahap jadwal Pilkades diarahkan untuk dapat dilaksanakan serentak keseluruhan di tiap kabupaten. Manfaat dari pelaksanaan Pilkades serentak adalah kemandirian dan minim intervensi (politik) dari wilayah lain karena sama-sama melaksanakan Pilkades. 

Kedua, Dari segi jumlah calon, ada pembatasan Jumlah Calon Kepala Desa. Minimal 2 calon dan Maksimal 5 calon Permendagri Pasal 112 Pasal 23). Jika hanya ada satu calon, pemilihan ditunda dan dikutsertakan dalam Pilkades serentak berikutnya. Jika calon lebih dari 5, dilakukan seleksi sehingga calon manjadi maksimal 5 orang. 

Ketiga, Dari segi Lokasi Pemilihan (pencoblosan), diarahkan untuk dilakukan per TPS (walaupun terbuka untuk di satu lokasi) (Permendagri 112 Pasal 35). Manfaat dari dilaksanakannya Pilkades per TPS (tersebar) diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pemilih, biaya lebih murah (mendekatkan pemilih dengan lokasi pemilihan dan meminimalisir gesekan antar pendukung.

Keempat, Dari segi biaya, Pilkades sekarang dibiayai oleh Pemerintah (Kabupaten dan Desa) (Permendagri 112 Pasal 48 ayat (1) dan (2)., Calon dilarang diminta sumbangan untuk alasan apapun. Jikapun ada pihak ketiga yang akan memberikan bantuan/sumbangan, secara aturan harus masuk dulu APBDes. 

Kelima, Pengisian kekosongan, Jika terjadi Kepala Desa berhalangan tetap, maka penggantinya dipilih melalui musyawarah desa dengan unsur perwakilan dari setiap elemen masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan. 

Saat ini, ada sesuatu yang baru dalam system pemerintahan desa. “Kepala Desa Antar Waktu”. Istilah ini baru dikenal setelah terbitnya Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa. Pasal 47, menyebutkan : (3) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui Musyawarah Desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33. (4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa diberhentikan. (5) Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan.

Penguatan legitimasi dukungan masyarakat, dikuatkan dengan batas minimal partisipasi pemilih 50 persen tambah 1 (satu), pemilihan kepala desa di anggap sah. Jika kurang dari 50+1, maka pilkades dianggap gagal dan kembali diikutsertakan dalam Pilkades serentak berikutnya. 

Besar harapan kita sebagai masyarakat, dari proses yang demikian murah secara biaya dan demokratis secara politik dapat menghasilkan Kepala Desa yang benar-benar memenuhi harapan masyarakat. Ikhlas dan berkarya memajukan desa. Semoga.

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Minggu, 31 Juli 2016

Makna Bulan Agustus Bagi Bangsa Indonesia

SR, 1 Agustus 2016
Bulan Agustus merupakan bulan yang berkesan bagi Bangsa Indonesia, karena dibulan ini ada satu hari yang diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kemerdekan Indonesia. Ya, tepatnya tanggal 17 Agustus. Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Ir. Soekarno didampingi Mohammad Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajahan dan menjadikan Indonesia menjadi negara yang berdaulat.

Kemerdekaan adalah cita-cita dan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap bangsa di mana pun berada. Demikian halnya bangsa Indonesia yang mengalami masa penjajahan sangat panjang dan membuat penderitaan rakyat. Oleh karena itu, bangsa Indonesia berusaha untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Pada akhirnya harapan untuk merdeka itu terwujud dengan dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Proklamasi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia berarti berakhirnya masa penjajahan dan mulainya kehidupan sebagai bangsa merdeka. Proklamasi kemerdekaan merupakan titik puncak atau peristiwa puncak dalam perkembangan perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan. Proklamasi kemerdekaan mengumandangkan suatu berita kegembiraan bagi bangsa Indonesia ke segenap penjuru dunia.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembentukan negara yang dicetuskan melalui proklamasi tersebut bukanlah merupakan tujuan semata-mata, melainkan hanya sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Proklamasi kemer dekaan Indonesia menjadi sarana untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur serta lepas dari belenggu penjajahan bangsa lain.

Setiap tanggal 17 Agustus menjadi momen yang sakral dan dapat kita jumpai setiap rumah memasang bendera Merah Putih serta umbul - umbul yang juga dipasang di setiap komplek perumahan dan juga mengadakan upacara Bendera sebagai peringatan akan kemerdekaan. 
 
 
Tidak hanya itu, hal unik lainnya yang biasa masyarakat Indonesia lakukan saat merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia adalah dengan mengadakan suatu festival berupa lomba - lomba yang telah menjadi budaya tersendiri. Perayaan ini selalu dihiasi oleh meriahnya canda tawa orang - orang yang ikut serta dalam lomba tersebut. Biasanya lomba - lomba yang telah menjadi budaya dalam merayakan kemerdekaan Indonesia adalah Tarik Tambang, Balap Karung, Makan Kerupuk, Panjat Pinang, Lomba memindahkan belut, dan masih banyak lagi. Dan biasanya, pada malam hari di saat penghujung perayaan 17an tiba, hadiah- hadiah pun dipersembahkan untuk para pemenang setiap perlombaan.
Dengan adanya peringatan hari kemeredekaan Indonesia diharapkan mampu memberikan semangat dan dapat mengambil pelajaran dari perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa raganya demi merebut kemerdekaan. MERDEKA,...!!!!!
 
Sumber: Redaksi SR diolah dari berbagai sumber

Kamis, 21 Juli 2016

Lebaran: Maaf dari Hati

Lebaran sudah tiba, suasananya penuh kebahagiaan dan keharuan. Bahagia bisa bertemu kembali di tahun yang baru dan haru karena kesalahan, baik sengaja maupun tidak, sudah termaafkan sewaktu bermaafan dengan para tetangga dan teman. Senangnya rasa persatuan bisa terpancar antara kami semua. Walaupun secara SAR (suku, agama dan ras) berbeda, tidak menghalangi rasa persaudaraan di antara kami semua. Momentum yang sangat indah terjalin baik pada saat Idul Fitri. Semua sama, sama-sama merasakan kesucian, keindahan, kebahagiaan dan persaudaraan sebagai umat manusia dan sebangsa. Tradisi ngiter ke rumah-rumah sudah terlaksana. Hidangan yang tersedia sangat menggiurkan. Ya, kami pun turut merasakan bagaimana nikmat dan indahnya Idul Fitri. Para tetangga, baik satu RT maupun beda RT, tiap tahun banyak yang memberikan ketupat, opor ayam, rendang dan masakan lainnya ciri khas Lebaran (termasuk kue-kue.


Lebaran memang sarat makna. Lebaran lebih sering diartikan sebagai upaya memafkan. Setiap muslim akan datang mengunjungi setiap tetangga atau orang yang dikenalnya untuk meminta maaf. Muslim yang didatangipun sering begitu mudah memaafkannya. Begitu indahnya dunia jika lebaran lebih dari satu kali. Hanya saja, kalau diperhatikan secara lebih jeli. Permintaan maaf dan pemberian maaf itu menjadi begitu mekanis. Seakan-akan hanya penghias bibir belaka. Bukan sesuatu yang datang dari hati. Jika setelah lebaran berakhir, masih ada perseteruan, maka hal itu menjadi wajar. Permintaan maaf dan pemberian maaf sepertinya hanya berlaku pada saat-saat lebaran belaka. Setelah itu, dunia berjalan normal kembali. Luka dan marah akan kembali mengisi hari-hari. Tak ada relevansinya dengan permintaan maaf dan pemberian maaf saat lebaran. Mungkinkah kita melahirkan maaf dari hati. Sangat mungkin dan harus mungkin! Seandainya dalam lebaran hati disertakan. Permintaan maaf tulus dan pemberian maaf pun tulus. Lebaran, mari kita beri arti: Maaf dari hati. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.
Sumber: Redaksi SR





Jumat, 24 Juni 2016

Desa Jambu Butuh Pemimpin yang "Membangun Desa"

SR, 24 Juni 2016

Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bagasjanuarinaldid/agar-pemanfaatan-dana-desa-tepat-sasaran_5692dd612b7a61a60dcc71ec



Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penyaluran dana menjadi hal terpenting untuk pembangunan desa yang lebih maju. Dengan berlakunya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa bahwa adanya kucuran dana milyaran rupiah langsung ke desa yang bersumber dari alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN, Pasal 1, ayat 2 Dana Desa adalah Dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Tujuan dari dana desa pada dasarnya adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan lebih memeratakan pendapatan.

Era pembaharuan desa sudah dimulai. Melalui UU Desa yang baru tersebut, desa memiliki kewenangan mengurus diri sendiri berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Oleh karena itu diperlukan sosok pemimpin yang benar-benar mengerti dan memahami penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Untuk memilih seorang pemimpin, masyarakat harus teliti, upayakan memilih pemimpin yang pintar menulis dan membaca, agar Desa ini tambah maju dan tambah berkembang sehingga warganya bisa sejahtera. Pemimpin desa harus membuat daerah maju dan berkembang, buat perubahan yang dapat membuat desa menjadi lebih baik kedepannya. Peminpin desa juga harus bisa menjadi motor penggerak dalam menggiatkan perekonomian masyarakat.

"Jangan memilih pemimpin yang tidak bisa menulis dan membaca”

Jangan memilih pemimpin yang tidak bisa menulis dan membaca, karena bagaimana ceritanya pemimpin seperti itu bisa menyusun perencanaan desa. Kita harus memilih pemimpin yang memiliki kecerdasan, memiliki kemampuan untuk menyusun peraturan-peraturan dan merencanakan pembangunan apa di desa itu kedepannya. Pemimpin desa sebagai top manajemen harus bisa menerapkan fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan untuk mengatur desanya supaya lebih maju.

Jambu adalah desa di kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Desa Jambu terdiri dari 2 wilayah yaitu Sabrang Wetan (sebelah timur Sungai Tajum) dan Sabrang Kulon (sebelah kulon Sungai Tajum). Sabrang Wetan terdiri dari Grumbul Karangtengah dan Karangmiri, sementara Sabrang Kulon terdiri dari Grumbul Kalibening, Jambu, Kalitando dan Blumbang. Sungai Tajum merupakan sungai yang memisahkan antara Sabrang Wetan dan Sabrang Kulon. Jembatan Gantung merupakan akses yang menyatukan kedua wilayah tersebut. Sebagian besar penduduk didaerah tersebut bermata pencaharian Petani dan Buruh, sedangkan sisanya merupakan PNS dan pengangguran.

Desa Jambu merupakan daerah yang terbagi menjadi beberapa grumbul yang memiliki kondisi yang berbeda baik sumber daya alam nya maupun sumber daya manusianya. Dengan kondisi seperti ini tentunya butuh seorang pemimpin yang mengerti dan mampu membaca arah kebijakan dalam rangka membangun desanya. Seorang pemimpin harus membuat skala prioritas supaya pembangunan di Desa Jambu merata secara keseluruhan.

Pada tahun 2007, wilayah Sabrang Wetan merencanakan untuk pemekaran wilayah Desa Jambu menjadi Desa Karangtengah. Hal ini disebabkan karena tertinggalnya perekonomian wilayah Sabrang Wetan, disisi lain Karangtengah sudah memenuhi persyaratan secara umum menjadi desa. Ini merupakan puncak dari keinginan warga masyarakat yang merasa kecewa dengan kondisi daerahnya yang tertinggal, disisi lain masyarakat juga mersa kecewa dengan pemimpin desa yang terkesan kurang peduli dengan kondisi pembangunan di desanya. Tidak adanya perencanaan dan program kerja yang jelas membuat daerah tersebut terkesan statis, tidak ada gairah untuk membangun desanya.

“Memilih pemimpin yang dekat dengan wakil rakyat”

Beban dan tanggungjawab seorang pemimpin desa kedepan sangatlah berat, maka dari itu diminta masyarakat untuk memilih peminpin yang memiliki kemampuan, kecakapan, kekuatan, untuk mengurus desa, selain itu pilih pemimpin yang bisa bersinergi dengan pemerintahan baik tingkat Kecamatan maupun tingkat Kabupaten. Pilihlah pemimpin yang dekat dengan pemerintahan tingkat Kecamatan dan Kabupaten, yang dapat bersinergi dengan pengambil kebijakan baik itu di tingkat Kecamatan, Kabupaten, dan tentunya ada anggota DPRD nya yang bisa mengawal usulan masyarakat, agar pembangunan Desa bisa lebih maju dan berkembang. Jika saja pemimpin desa tersebut dekat dengan anggota DPRD nya maka semua aspirasi dan usulan dari masyarakat dapat segera tersalurkan terutama usulan mengenai pembangunan desa seperti pembangunan jalan, jembatan, fasilitas umum dan sosial. Maka tak khayal jika suatu desa mempunyai wakil di DPRD pembangunannya pesat jika dibandingkan dengan desa yang hanya mengandalkan anggarannya sendiri.

Sejak tahun 2009, melalui Pemilihan Umum warga masyarakat Karangtengah menyatakan "Bersatu" untuk memilih wakil rakyat yang akan memimpin, mengayomi dan memperhatikan kondisi pembangunan khususnya di Karangtengah dan Desa Jambu pada umumnya. Pernyataan bersatunya masyarakat Karangtengah tersebut tercermin dari kekompakan dan kebersamaan dalam berbagai bidang khususnya bidang politik. Seiring dengan dimulainya pembangunan yang pesat dilakukan di daerah Sabrang Wetan khususnya di Karangtengah mulai dari pembangunan Polindes, perbaikan dan pengaspalan Jalan, serta pemberian bantuan yang dilakukan Pemerintah maka seolah wacana pemekaran desa sedikit terlupakan. Bahkan pada tahun 2015 direncanakan akses utama Jembatan Gantung yang menghubungkan sabrang wetan dan sabrang kulon akan diganti menjadi Jembatan Permanen. Hal ini diungkapkan oleh Salah satu wakil nya yang duduk di anggota Dewan yang juga menjadi Ketua Komisi B dibidang Anggaran bahwa anggaran untuk pembangunan Jembatan permanen tersebut sebesar Rp 6 Milyar rupiah. Masyarakat Karangtengah khususnya, Desa Jambu tentunya sangat mengharapkan realisasi pembangunan jembatan permanen tersebut. Jika rencana tersebut terealisasi maka akan berdampak positif bagi pembangunan masyarakat di daerah tersebut mengingat daerah disekitar tersebut terisolir oleh Sungai Tajum yang memisahkan desa tersebut. Daerah yang berdampak tidak hanya di lingkungan Desa Jambu, akan tetapi di Desa lain seperti Kaliurip,Karangtalun, Purwojati,Banteran, dan Gerduren. Sedangkan akses jalan tersebut dapat ditingkatkan menjadi Jalan Kabupaten yang menghubungkan Kecamatan Wangon dan Kecamatan Purwojati. Patut untuk kita tunggu realisasi pembangunan Jembatan permanen tersebut mengingat sudah banyak wakil rakyat dan Pemerintah yang berjanji akan membangun jembatan permanen Karangtengah, mulai dari Ketua DPRD Banyumas tahun 2009, Anggota DPRD Banyumas 2009, Wakil Bupati Banyumas tahun 2009 dan Anggota DPRD Banyumas tahun 2014.

Harapan masyarakat Karangtengah dan sekitarnya untuk pembangunan jembatan permanen akhirnya bakal terwujud, pasalnya jembatan tajum yang saat ini masih berupa jembatan gantung tersebut kini masuk tahap lelang. Seperti yang dimuat disitus LPSE Kabupaten Banyumas, jembatan dengan nilai pagu paket Rp. 6.000.000.000,- tersebut saat ini dalam tahap proses lelang. Sesuai jadwal lelang, pengumuman pemenang pada tanggal 27 Mei 2016 dan penandatanganan kontrak pada tanggal 3 Juni 2016. Sedangkan proses konstruksi menunggu hasil proses lelang tersebut.

Karangtengah, Jambu (11/6/16)- Bertempat di desa Jambu Dusun Karangtengah, syukuran bersama Muspika Wangon di antaranya Camat, Danramil, dan Kapolsek serta para tokoh masyarakat dan warga Desa jambu dalam rangka perencanaan pembangunan jembatan Desa.

Pembangunan Jembatan Desa Jambu telah di rintis sejak 2014 lalu, dan Minggu ini akan di laksanakan pembangunannya oleh Kontraktor pembangunan PT. Krakatau. Pembangunan jembatan ini di anggarkan sebesar 5,25 Miliard. di harapkan dengan pembangunan ini akan semakin meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar karena akses jalan menuju kota akan semakin mudah.

“Jangan memilih pemimpin yang hanya berambisi menduduki jabatan dan kebanggaan diri saja,”

Memiih pemimpin adalah memilih calon yang dianggap mampu mengelola manajemen pemerintaan desa yang baik. Mampu berkordinasi, melakukan komunikasi dan terbuka dengan organisasi dan sistem pemerintahan yang ada di lingkungan tersebut. Mulai dari BPD, perangkat desa, kepala dusun dan organisasi-oraganisasi yang aktif di desa tersebut. Kepemimpinan desa kedepan adalah menggali seluruh potensi yang dimiliki dan mengembangkannya.

Berbagai cara dilakukan untuk dipilih dan terpilih. Anehnya, cara-cara yang dilakukan seringkali tidak edukatif, tidak bermartabat dan tidak menunjukkan sebagai seorang yang professional. Cara-cara yang dilakukan seringkali menabrak etika kepemimpinan, menabrak batas – batas kemanusiaan, menabrak sendi-sendi keagamaan. Dimanapun, seringkali calon pemimpin membangun eksistensi dirinya tidak dengan mengedepankan esensi dari sebuah kampanye. Kampanye hanya dimanfaatkan untuk membangun sebuah opini yang tidak ada kaitannya dengan visi-misi.

Fenomena yang terjadi di Desa Jambu adalah banyaknya tokoh-tokoh masyarakat yang hanya berambisi menjadi pemimpin sebagai kebanggan diri saja sehingga mereka tidak pernah merasa kapok jika tidak terpilih. Hal ini karena mereka mementingkan ambisi sendiri tanpa mementingkan pembangunan desa yang dipimpinnya. Selama ini mereka maju dengan sendiri dengan berdalih merasa layak memimpin tanpa musyawarah dan sosialisasi dengan warga masyarakat.

“Jangan dobodohi dengan politik uang”

Rakyat selaku pemilih jangan mau dibodohi oleh calon-calon pemimpin desa. Apalagi mereka memberikan janji dengan cara melakukan politik uang. Hal itu untuk menciptakan pemimpin desa yang berkualitas dan memiliki moral yang bagus. Rakyat yang memanfaatkan hak pilihnya harus berpikir cerdas dan dewasa dalam berpolitik. Dengan mengedepankan pola berpikir yang sehat dan cerdas, supaya rakyat tidak dirugikan setelah calon pemimpin desa itu terpilih. Pengalaman membuktikan bahwa suap bisa memutarbalikan keadilan. Benar jadi salah, dan salah jadi benar.

Pemimpin yang  membeli suara kepada rakyatnya, dihawatirkan berbuat korupsi untuk mengganti anggaran selama pemilihan. Untuk itu, rakyat jangan sampai salah memilih dalam menciptakan pemimpin supaya yang dipilih itu benar-benar amanah dan tidak korup. Sebab menjadi seorang pemimpin itu akan ditanya tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Termasuk rakyat yang dipimpinnya juga akan dipertanyakan.

Desa Jambu merupakan desa yang religius, hal ini ditandai dengan banyaknya masjid dan mushola, pengajian, serta adanya pondok pesantren di desa tersebut. Selain itu, adanya organisasi keagamaan yang terdapat di desa Jambu seperti NU dan tokoh-tokoh agama ustadz dan kyai, harusnya membuat masyarakat mengenal hukum agama bahwa politik uang merupakan perbuatan yang haram.

Gambaran bahwa calon pemimpin yang memberi uang pada rakyat agar dipilih itu tidak berbeda dengan rakyat yang memberi uang pada polisi agar tidak terkena Tilang; dengan kontraktor yang memberi uang pada pejabat tender proyek agar menang dalam proyek; dengan orang yang berperkara di pengadilan yang memberi uang pada jaksa dan hakim agar tuntunan dan keputusan hukum diperingan; dengan calon pegawai agar diterima jadi PNS, dll.

Kalau sudah begitu, maka secara terang benderang berlakulah hadits haramnya suap menyuap terhadap praktik money politics (politik uang) atau jual beli suara. Bahkan, jual beli suara dalam pilkada lebih besar bahaya dan mudaratnya bagi umat karena perilaku pejabat yang dipilih akan berdampak pada kepentingan masyarakat banyak --baik yang menerima uang suap maupun yang tidak. Beda halnya suap menyuap antara pemilik motor/mobil dan polisi lalu lintas atau jaksa/hakim dan terdakwa yang dampaknya hanya kepada pihak-pihak yang terlibat dengan perkara saja. Yang inipun termasuk dosa besar dalam Islam.

Seluruh ulama, kyai, ustadz, dan tokoh masyarakat harus solid dan kompak bekerja sama untuk (a) memerangi praktik politik uang dan (b) memberi pencerahan pada rakyat agar memilih calon berdasar pada siapa figur yang paling amanah dan mampu memimpin bukan pada tokoh yang menyuap mereka. Salah satu tanda figur yang amanah adalah mereka yang tidak memberi uang agar dipilih!


by Redaksi SR, diolah dari berbagai sumber
 

Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bagasjanuarinaldid/agar-pemanfaatan-dana-desa-tepat-sasaran_5692dd612b7a61a60dcc71ec
Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bagasjanuarinaldid/agar-pemanfaatan-dana-desa-tepat-sasaran_5692dd612b7a61a60dcc71ec
Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bagasjanuarinaldid/agar-pemanfaatan-dana-desa-tepat-sasaran_5692dd612b7a61a60dcc71ec
Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bagasjanuarinaldid/agar-pemanfaatan-dana-desa-tepat-sasaran_5692dd612b7a61a60dcc71ec